
Perkembangan Kota Malang pada era kolonial Belanda menjadi salah satu contoh akselerasi pembangunan kota yang paling mencolok di Pulau Jawa. Kota ini bukan hanya tumbuh secara cepat, tetapi juga dirancang dengan konsep perencanaan kota yang relatif lengkap untuk masanya. Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), Reza Hudianto, menyebut bahwa pembangunan infrastruktur di Malang berjalan lebih cepat dibandingkan kota-kota lain di Hindia Belanda, bahkan Surabaya sekalipun.
Bouwplan: Titik Awal Tata Ruang Kolonial
Percepatan pembangunan kota dimulai pada awal 1920-an melalui proyek yang disebut bouwplan. Proyek ini merupakan skema tata ruang yang dijalankan oleh pemerintah kolonial untuk membangun kota-kota modern. Kota Malang tercatat memiliki delapan bouwplan yang mencakup beberapa hektar wilayah. Hal ini terjadi setelah status Malang berubah menjadi geemente (kotamadya), yang memungkinkan otonomi lokal dalam perencanaan wilayah.
“Perkembangan kota Malang sangat pesat setelah 1914. Bahkan bisa dibilang paling cepat di seluruh Jawa,” ujar Reza Hudianto.
Faktor utama dari kemudahan pembangunan ini adalah ketersediaan lahan yang murah dan luas. Banyak tanah yang dikuasai oleh Pabrik Gula Kebonagung dan sebagian milik rakyat. Tidak seperti di Surabaya yang lahan-lahannya sudah padat dan mahal, proses pembebasan tanah di Malang berlangsung lebih sederhana dan efisien.
Oranjebuurt: Wilayah Kerajaan dalam Nama Jalan
Dalam praktiknya, wilayah hasil bouwplan dikenal dengan nama Oranjebuurt. Di sinilah nama-nama jalan yang mengadopsi tokoh-tokoh keluarga kerajaan Belanda muncul, seperti Wilhelmina straat (Dr. Cipto), Juliana straat (RA Kartini), Emma straat (Dr. Sutomo), Willem straat (Diponegoro), Maurits straat (MH Thamrin), dan Sophia straat (Cokroaminoto). Semua jalan ini menandai kawasan pemukiman elit dan perkantoran kolonial.
Sebelum menjadi kawasan urban, tanah-tanah ini dulunya adalah lahan perkebunan tebu. Perubahan fungsi lahan yang drastis ini merupakan salah satu alasan mengapa pembangunan berlangsung sangat cepat.
Dua Sisi Kota yang Dipisahkan Sungai Brantas
Reza menjelaskan bahwa Sungai Brantas memainkan peran penting dalam struktur kota. Wilayah barat sungai, terutama Kayutangan, berkembang lebih awal karena tidak terpotong oleh aliran sungai. Sementara itu, wilayah timur Brantas, termasuk Balai Kota, masih kosong hingga awal 1920-an.
Kayutangan pun menjadi pusat ekonomi sebelum Balai Kota dan Bundaran Tugu dibangun. Hal ini mencerminkan pendekatan pembangunan bertahap yang dilakukan pemerintah kolonial, menunggu infrastruktur dasar siap sebelum membuka wilayah baru dalam bouwplan berikutnya.
Wisma Tumapel dan Balai Kota: Simbol Generasi Pembangunan
Salah satu temuan menarik dari rekonstruksi sejarah ini adalah bahwa Hotel Splendid—kini Wisma Tumapel—dibangun lebih dulu daripada Balai Kota Malang. Splendid dibangun tahun 1923, sementara Balai Kota baru rampung dan diresmikan pada 1929. Keduanya dibangun dalam kerangka bouwplan dua dan menjadi bagian penting dari kawasan administrasi dan budaya kolonial.
Jalan-jalan di kawasan ini juga diberi nama tokoh-tokoh penting kolonial, seperti Speelmanstraat (Majapahit) dan Maetsuykerstraat (Tumapel), yang menunjukkan jejak-jejak simbolis kolonialisme dalam struktur kota.
Dari Perkebunan ke Perkotaan: Warisan Tata Kota Kolonial
Peta Malang tahun 1884 menunjukkan bahwa sebelum era bouwplan, wilayah ini nyaris tak berpenghuni, hanya lahan kosong dan jalur pertanian. Namun, dalam waktu kurang dari dua dekade, Malang tumbuh menjadi kota dengan rancangan modern, lengkap dengan jaringan jalan, perkantoran, dan pemukiman.
Perubahan ini adalah contoh bagaimana perencanaan kolonial bisa mengubah lanskap secara menyeluruh. Meski dibangun dalam konteks kolonialisme, warisan tata kota bouwplan hari ini masih bisa dilihat pada struktur jalan dan kawasan administratif Kota Malang. Jejak sejarah ini menjadi penting untuk dipahami dalam rangka menata ulang kota secara berkelanjutan dengan tetap mengakui sejarahnya.