
Lampung, Januari 2025 – Ribuan petani singkong di Provinsi Lampung kembali menggelar aksi protes akibat harga singkong yang anjlok hingga di bawah Rp1.000 per kilogram. Para petani menuntut harga yang lebih layak, mengingat biaya produksi yang semakin meningkat.
Sebagai respons terhadap aksi ini, Pemerintah Provinsi Lampung mengadakan pertemuan dengan perusahaan pengolahan tapioka dan perwakilan petani pada 23 Desember 2024. Hasilnya, disepakati harga singkong sebesar Rp1.400 per kilogram dengan potongan rafaksi maksimal 15 persen, mulai berlaku sejak 24 Desember 2024.
Namun, implementasi kesepakatan ini tidak berjalan lancar. Sejumlah perusahaan pengolahan tapioka belum mematuhi aturan harga yang ditetapkan, dengan alasan belum menerima surat edaran resmi dari pemerintah. Situasi ini memicu aksi lanjutan dari petani yang mendesak agar pemerintah memastikan kesepakatan berjalan sebagaimana mestinya.
Melihat kondisi ini, Kementerian Pertanian mengadakan rapat koordinasi dengan Panitia Khusus Tata Niaga Singkong DPRD Lampung dan perwakilan petani pada 31 Januari 2025. Rapat ini menetapkan harga singkong sebesar Rp1.350 per kilogram, dengan tujuan menstabilkan harga dan melindungi kesejahteraan petani.
Selain itu, pemerintah juga memperketat aturan impor singkong, terutama untuk kebutuhan industri tapioka. Kini, impor singkong hanya diperbolehkan dengan rekomendasi resmi dari Kementerian Pertanian. Menteri Pertanian menegaskan bahwa kebijakan ini dibuat untuk melindungi petani lokal dan mencegah harga singkong jatuh lebih dalam.
Tanggapan GPTN Terkait Harga Singkong di Lampung

Menanggapi situasi ini, Harmanto selaku ketua umum GPTN menyampaikan bahwa industri singkong seharusnya komprehensif dan ada nilai tambah dari pengelolaan batang singkong.
“Baik Industri singkong seharusnya komprehensif, dengan luas lebih dari 500.000 Ha di Lampung seharusnya ada nilai tambah dari pengolahan batang singkongnya. Keputusan menaikkan harga singkong menjadi Rp1.350 per kilogram adalah langkah maju, tetapi kita harus memastikan bahwa perusahaan pengolahan tapioka mematuhi aturan ini. Jika tidak ada pengawasan ketat, kebijakan ini hanya akan menjadi angka di atas kertas,” ujar Harmanto.

Kemudian, Trian Yusuf Hendrawan selaku Sekretaris Umum GPTN menanggapi situasi ini agar pengusaha pabrik singkong harus duduk bersama untuk menyelesaikan masalah.
“Baik petani maupun pengusaha pemilik pabrik singkong yang ada saat ini harus duduk bareng untuk bisa menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Karena demo yang terjadi pada saat panen raya singkong di lampung, jelas merugikan semua fihak”. dan pemerintah seharusnya menjaga keran impor produk olahan singkong dari luar yang nilainya lebih dari 500 M, seharus nya ini menjadi hak petani singkong di Indonesia, bukan hanya petani singkong di Lampung” ujarnya.

Sementara itu, Trisno Widodo menyoroti kebijakan impor singkong yang selama ini merugikan petani lokal.
“Petani perlu diberikan edukasi dan akses terhadap teknologi pengolahan singkong menjadi produk bernilai tambah. Jika hanya mengandalkan industri tapioka, posisi tawar petani akan selalu lemah. Pemerintah harus membantu membuka pasar baru bagi produk berbasis singkong,” tegasnya.
Para petani singkong di Lampung berharap pemerintah dapat mengawasi implementasi kebijakan yang telah ditetapkan agar tidak hanya menjadi wacana. Dengan regulasi yang jelas dan penegakan aturan yang ketat, diharapkan industri singkong di Indonesia bisa lebih adil dan menguntungkan bagi semua pihak.
Ya seharus petani singkong itu ada pelatihan pengolahan hasilnya secara teknologi,menjalin kerjasama dengan UMKN yang ada di Indonesi dan memasuki pasar luar.