
Kasus dugaan fraud yang menimpa eFishery telah menimbulkan dampak luas, tidak hanya bagi perusahaan itu sendiri, tetapi juga bagi petani ikan, karyawan, dan investor. Sebagai pelopor digitalisasi perikanan, eFishery sebelumnya dianggap sebagai inovasi besar dalam industri akuakultur. Namun, persoalan manajemen keuangan kini menjadi pelajaran penting bagi sektor agritech di Indonesia.
Dampak bagi Petani Ikan
Bagi para petani ikan, eFishery memberikan dampak yang signifikan, terutama dalam akses pembiayaan dan efisiensi produksi. Mario, seorang petani ikan di Ciseeng, Bogor, mengungkapkan bahwa fasilitas kredit seperti KABAYAN (Kasih Bayar Nanti) sangat membantunya dalam membeli pakan.
“Kredit ini memberikan kelonggaran dalam pembayaran, sehingga kami bisa fokus pada budidaya,” ujar Mario. Ia juga menyebut bahwa program pemasaran eFishery yang diluncurkan sejak 2023 membantu petani mendapatkan akses pasar dengan lebih baik.
Namun, dengan kasus ini, Mario dan petani lainnya berharap eFishery bisa bangkit kembali dengan model bisnis yang lebih transparan serta tetap memberikan dukungan tanpa menekan harga.
Peluang eFishery untuk Bangkit
Menurut Prof. Dr. Yudi Nurul Ihsan, pakar perikanan dari Universitas Padjadjaran, eFishery tetap memiliki peluang untuk kembali menjadi pemain utama di industri akuakultur Indonesia.
“Jika evaluasi menyeluruh dilakukan dan kepercayaan petani serta investor dapat dipulihkan, eFishery masih bisa menjadi solusi bagi industri perikanan Indonesia,” jelasnya.
Meski mengalami skandal, pencapaian bisnis eFishery sebenarnya cukup impresif. Pada 2023, perusahaan ini mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar Rp2 triliun (50% growth), dengan tingkat profitabilitas yang meningkat hingga 42% di tahun terakhir. Dibandingkan dengan banyak startup teknologi lain yang masih mencatatkan kerugian lebih dari Rp1 triliun saat IPO, eFishery seharusnya masih memiliki prospek yang baik.
Skandal Fraud dan Tantangan Tata Kelola Startup
Di sisi lain, Ali Riza Fahlevi, pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Telkom University, menilai bahwa kasus ini tidak bisa hanya dilihat sebagai kesalahan manajemen. Ia menekankan bahwa skandal keuangan seperti ini biasanya melibatkan lebih dari satu pihak, termasuk auditor, investor, dan regulator.
“Kasus keuangan besar seperti Enron pada 2002 menunjukkan bahwa fraud bukan hanya tanggung jawab manajemen, tetapi juga firma akuntansi, bursa, dan konsultan,” kata Ali.
Ia menambahkan bahwa dalam industri startup, 80% perusahaan gagal dalam tiga tahun pertama, bahkan di Indonesia angka ini bisa mencapai 90% akibat lemahnya pengawasan dan tantangan pendanaan. Oleh karena itu, Ali menilai bahwa regulasi yang lebih ketat terhadap startup sangat diperlukan.
“Pemerintah bisa ikut berperan melalui Kementerian Investasi dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memastikan startup di sektor ini tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang secara sehat,” tambahnya.
Ali juga menegaskan bahwa transparansi dalam laporan keuangan harus menjadi prioritas bagi semua startup. Jika perusahaan tidak menjaga standar akuntansi yang baik, maka kepercayaan investor akan hilang dan berujung pada kehancuran bisnis.
Kasus eFishery memberikan pelajaran penting bagi ekosistem startup di Indonesia, terutama dalam hal tata kelola keuangan dan transparansi. Meski diterpa skandal, eFishery masih memiliki peluang untuk bangkit dengan melakukan restrukturisasi bisnis, memperbaiki tata kelola keuangan, dan membangun kembali kepercayaan petani serta investor.
Regulasi yang lebih ketat terhadap startup juga diperlukan agar kasus serupa tidak terulang. Dengan pendekatan yang lebih hati-hati, eFishery bisa kembali menjadi pemain utama dalam transformasi industri akuakultur di Indonesia.