Dalam beberapa tahun terakhir, bisnis kakao di Indonesia khususnya di Jawa Barat sempat meredup, terutama di kalangan perusahaan perkebunan besar. Namun, pada tahun 2025, tren tersebut mulai berubah. Sejumlah unit perkebunan swasta di Jawa Barat kembali melirik komoditas kakao sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Harga pasar yang melonjak dan meningkatnya permintaan menjadi pemantik utama kebangkitan ini, meskipun tantangan lama seperti pencurian hasil panen masih menghantui. Di tengah menurunnya produksi dari perkebunan rakyat akibat tanaman yang menua dan alih fungsi lahan, kebangkitan minat dari sektor swasta menjadi harapan baru untuk menghidupkan kembali kejayaan kakao di Jawa Barat.

Kebangkitan Minat Perkebunan Besar terhadap Kakao

Setelah satu dekade menyusut, pengusahaan kakao oleh perkebunan besar swasta kini menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Unit-unit perkebunan di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur mulai mempersiapkan lahan khusus untuk ditanami kakao. Langkah ini tentu tidak terlepas dari perbaikan harga yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, kesadaran akan pentingnya diversifikasi komoditas dan peluang ekspor juga turut mendorong langkah strategis ini.

Sebelumnya, banyak perusahaan menghentikan usaha kakao karena maraknya pencurian hasil panen. Namun kini, tampaknya perusahaan mulai menyusun strategi keamanan yang lebih baik dan melihat potensi keuntungan dari kakao sebagai justifikasi yang cukup untuk kembali menggeluti bisnis ini.

Harga Kakao Melejit, Menjadi Magnet Baru

Faktor utama yang mendorong kebangkitan minat terhadap kakao adalah lonjakan harga di tingkat petani. Jika pada tahun 2017 harga biji kakao kering hanya berkisar Rp 20.000–22.000 per kilogram, maka pada tahun 2025, harga telah menyentuh angka Rp 90.000 hingga Rp 130.000 per kilogram. Kenaikan ini terjadi secara bertahap, dengan lonjakan signifikan mulai tahun 2021 yang mencapai sekitar Rp 60.000/kg.

Kondisi ini menjadikan kakao sebagai salah satu komoditas perkebunan dengan potensi ekonomi tinggi. Para pelaku industri perkebunan pun mulai menyadari bahwa kakao bisa menjadi alternatif andalan dalam menghadapi fluktuasi harga komoditas lain seperti kopi atau teh.

Produksi Kakao Rakyat Menurun, Perlu Peremajaan

Di sisi lain, produksi kakao dari sektor perkebunan rakyat di Jawa Barat justru mengalami tren penurunan. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat tahun 2022, total luas areal kakao rakyat mencapai 4.538 hektare dengan total produksi 675 ton. Produksi ini terbilang rendah dan terus menurun sejak 2018.

Penurunan produksi ini terjadi karena mayoritas tanaman kakao yang dikelola petani sudah berumur tua dan belum mengalami peremajaan. Selain itu, minimnya dukungan teknis dan permodalan menjadikan petani kesulitan untuk meningkatkan produktivitas kebunnya.

Alih Fungsi Lahan Jadi Tantangan Tambahan

Selain masalah usia tanaman, penyusutan areal kakao rakyat juga disebabkan oleh alih fungsi ke komoditas lain. Banyak petani di wilayah seperti Tasikmalaya, Ciamis, Pangandaran, dan Banjar—yang sebelumnya merupakan sentra kakao—memilih mengganti tanaman mereka dengan kopi robusta, pepaya, atau tanaman hortikultura lain yang dinilai lebih cepat menghasilkan.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa tanpa dukungan nyata dari pemerintah dan dunia usaha, keberlangsungan kakao di tingkat petani kecil akan semakin tergerus. Maka dari itu, kebangkitan minat perkebunan besar bisa menjadi momentum untuk membangun sinergi dan memperkuat kembali mata rantai kakao dari hulu hingga hilir.

Peluang Ekspor dan Daya Saing Produk Kakao Indonesia

Dengan kenaikan harga yang didorong oleh permintaan global, Indonesia—termasuk Jawa Barat—memiliki peluang besar untuk mendorong ekspor kakao. Produk kakao Indonesia dikenal memiliki cita rasa yang khas, dan jika didukung dengan sistem budidaya serta pengolahan pascapanen yang baik, bisa bersaing di pasar internasional.

Perkebunan besar yang memiliki kapasitas modal dan akses pasar global berpotensi membuka jalan bagi ekspansi ekspor. Namun, hal ini perlu dibarengi dengan pembinaan kepada petani kecil agar mampu memproduksi biji kakao berkualitas tinggi secara berkelanjutan.

Harapan Baru dari Kolaborasi dan Investasi

Kebangkitan kakao di Jawa Barat memerlukan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah daerah, asosiasi petani, pelaku industri, dan lembaga keuangan perlu duduk bersama untuk menciptakan sistem pendukung yang memungkinkan peremajaan kebun, peningkatan kualitas produksi, serta pemasaran yang adil dan menguntungkan.

Jika kolaborasi ini dapat diwujudkan, kakao bukan hanya akan bangkit sebagai komoditas unggulan Jawa Barat, tetapi juga bisa menjadi simbol keberhasilan revitalisasi sektor perkebunan nasional. Tahun 2025 mungkin menjadi tonggak awal kebangkitan kakao di tanah Pasundan.