Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang saat ini tengah digalakkan oleh pemerintah bukan sekadar upaya pemenuhan nutrisi harian bagi anak-anak Indonesia. Lebih dari itu, program ini merupakan pijakan penting dalam membentuk generasi muda yang sehat, aktif, dan produktif, menuju visi besar Indonesia Emas 2045. Namun, keberhasilan program ini tak cukup hanya diukur dari jumlah makanan yang dibagikan, tetapi juga sejauh mana asupan yang diberikan benar-benar dikonsumsi dan diserap dengan baik oleh para penerimanya—terutama anak-anak usia sekolah.

Di lapangan, terdapat temuan yang perlu menjadi perhatian serius bersama, yaitu masih rendahnya minat anak-anak dalam mengonsumsi sayur dan buah yang merupakan komponen penting dalam menu MBG. Jika dibiarkan, kondisi ini berpotensi menghambat tujuan utama dari program MBG, yaitu peningkatan kualitas konsumsi pangan dan perbaikan status gizi secara nasional.

Tren Penurunan Konsumsi Sayur dan Buah: Sinyal Bahaya Gizi yang Terselubung

Meski skor Pola Pangan Harapan (PPH) nasional tahun 2024 masih menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah berada dalam batas ideal, yaitu sebesar 6 persen, terdapat indikasi penurunan yang tidak bisa diabaikan. Rata-rata konsumsi sayur dan buah turun sebesar 0,4 kilokalori per kapita per hari. Skor PPH sendiri mengalami penurunan dari 94,1 pada tahun 2023 menjadi 93,5 pada 2024, menjauh dari target RPJMN yang ditetapkan sebesar 95,2.

Fakta ini menjadi alarm awal bahwa pola konsumsi pangan masyarakat, khususnya anak-anak, masih perlu terus diperbaiki. Keanekaragaman konsumsi pangan memang menunjukkan tren positif, tetapi perlu didorong lebih kuat agar dapat menciptakan keseimbangan nutrisi yang optimal. Sayur dan buah, yang kaya akan serat, vitamin, dan antioksidan, tidak hanya penting untuk pertumbuhan fisik, tetapi juga untuk daya tahan tubuh dan perkembangan kognitif anak.

Mengubah Selera Bukan Sekadar Memberi: Pentingnya Edukasi Gizi Sejak Dini

Ketidaksukaan anak-anak terhadap sayur dan buah bukanlah fenomena yang muncul tiba-tiba. Ini adalah hasil dari proses panjang pola konsumsi yang terbentuk sejak usia dini, baik dari lingkungan keluarga maupun sosial. Oleh karena itu, pemberian makanan bergizi gratis perlu disertai dengan edukasi gizi yang terstruktur dan menyeluruh, tidak hanya kepada anak, tetapi juga kepada orang tua dan guru sebagai pihak yang paling dekat dalam kehidupan sehari-hari anak.

Memberikan anak pengetahuan tentang “apa” yang mereka makan harus disertai dengan penjelasan “mengapa” makanan itu penting. Edukasi ini dapat dikemas secara kreatif, misalnya dengan menambahkan informasi singkat tentang kandungan gizi dan manfaat makanan dalam kotak makan, atau melalui sesi sosialisasi ringan sebelum waktu makan bersama dimulai. Semakin menarik cara penyampaian, semakin besar kemungkinan pesan tersebut diserap anak-anak.

Membangun Lingkaran Edukasi: Guru, Orang Tua, dan Lingkungan Sekolah

Proses edukasi ini tentu tidak bisa dibebankan hanya kepada satu pihak. Dibutuhkan sinergi dan komitmen dari seluruh stakeholder pendidikan. Guru yang sadar pentingnya gizi akan berinisiatif menggali informasi dan menyampaikannya kepada anak-anak. Orang tua yang paham tentang ketahanan pangan dan pentingnya pola makan sehat akan membentuk kebiasaan makan anak sejak dari rumah.

Kesadaran kolektif ini akan menciptakan ekosistem yang mendukung tumbuhnya pola konsumsi sehat dan menyenangkan. Anak tidak lagi merasa terpaksa makan sayur atau buah, melainkan mulai menyukainya karena mereka memahami manfaatnya dan terbiasa mengonsumsinya dalam lingkungan yang suportif.

Pentingnya Pangan Lokal: Penganekaragaman dan Kebanggaan Daerah

Salah satu aspek penting dalam penguatan program MBG adalah pengenalan dan pemanfaatan pangan lokal. Keanekaragaman pangan Nusantara merupakan aset yang luar biasa, namun seringkali terabaikan dalam menu harian. Program MBG berpotensi menjadi medium edukasi sekaligus kampanye besar dalam memperkenalkan pangan lokal sebagai bagian dari pola konsumsi sehat.

Indonesia memiliki lebih dari 70 jenis pangan sumber karbohidrat, seperti singkong, ubi jalar, talas, sukun, kentang, dan sagu. Penggunaan bahan-bahan lokal ini dalam menu MBG tidak hanya memperkaya nilai gizi, tetapi juga mendorong ketahanan pangan daerah dan pemberdayaan ekonomi petani lokal. Proses pengenalan memang tidak instan, tetapi dengan pendekatan edukatif yang berkesinambungan, anak-anak akan terbiasa dan bahkan merasa bangga mengonsumsi makanan khas daerah mereka.

Membangun Kebiasaan Makan Sehat: Proses Panjang, Hasil Berkelanjutan

Transformasi pola makan anak-anak tentu bukan pekerjaan semalam. Dibutuhkan konsistensi, kesabaran, dan kesinambungan dalam penyampaian edukasi gizi. Untuk itu, indikator keberhasilan program MBG tidak hanya bisa dilihat dari berapa banyak makanan yang dibagikan atau dikonsumsi, tetapi juga dari peningkatan kualitas konsumsi pangan secara nasional.

Salah satu indikator tidak langsung yang dapat digunakan adalah peningkatan skor PPH yang dirilis setiap tahun oleh Badan Pangan Nasional. Selain itu, penurunan angka stunting juga menjadi indikator kunci yang sangat relevan. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting nasional masih berada di angka 21,5 persen, sedikit menurun dari tahun sebelumnya, tetapi masih di atas batas maksimal yang ditetapkan WHO sebesar 20 persen.

MBG sebagai Pilar SDM Unggul Menuju Indonesia Emas

Jika dijalankan secara konsisten dan disertai edukasi menyeluruh, program Makan Bergizi Gratis dapat menjadi katalisator perubahan besar dalam kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dengan gizi yang cukup dan pola makan yang sehat sejak dini, anak-anak Indonesia akan tumbuh menjadi generasi yang kuat, cerdas, dan kompetitif di masa depan.

Namun, untuk mewujudkan cita-cita besar ini, dibutuhkan keterlibatan aktif dari seluruh elemen bangsa: pemerintah, lembaga pendidikan, orang tua, pelaku usaha pangan, dan masyarakat luas. Program MBG bukan sekadar proyek makan gratis, melainkan gerakan nasional untuk memperkuat masa depan bangsa melalui gizi yang baik dan pola konsumsi yang bijak.