Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut kerap menjadi bahan perdebatan, terutama dalam konteks lingkungan dan kebijakan restorasi. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa sawit di lahan gambut bukanlah hal baru di Indonesia. Bahkan, ia telah menjadi bagian dari sejarah panjang perkebunan nasional sejak masa kolonial. Dengan demikian, penting untuk meninjau ulang persepsi terhadap sawit di lahan gambut secara komprehensif, berdasarkan data, regulasi, dan praktik pengelolaan yang sudah berjalan.

Lahan Gambut: Sebaran Global dan Posisi Indonesia

Secara global, lahan gambut mencakup area yang sangat luas. Berdasarkan data Wetland International (2008), luas lahan gambut dunia mencapai sekitar 381,4 juta hektar. Kawasan Eropa dan Rusia mendominasi dengan 44,08 persen dari total lahan gambut global, diikuti oleh Amerika (40,50 persen), dan Afrika (3,41 persen). Indonesia sendiri menempati posisi keempat dengan kontribusi 6,95 persen atau sekitar 18,5 juta hektar.

Walaupun bukan yang terbesar, Indonesia berada di jajaran atas negara dengan luasan gambut signifikan, setelah Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat. Namun demikian, tidak seluruh lahan gambut tersebut sesuai untuk pemanfaatan pertanian. Data Kementerian Pertanian (2016) menyebutkan bahwa hanya sekitar 6,05 juta hektare lahan gambut Indonesia yang dinilai cocok untuk kegiatan pertanian atau perkebunan, sebagian besar di antaranya berupa gambut dangkal.

Gambut untuk Pertanian: Bukan Inovasi Baru

Pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan budidaya bukanlah praktik yang muncul belakangan. Sejarah mencatat bahwa konversi lahan gambut untuk kepentingan pertanian sudah terjadi sejak lama, seiring dengan perkembangan peradaban pertanian. Dalam periode 1990–2008, sebanyak 3,83 juta hektar gambut dunia telah berubah fungsi, dengan 37 persen konversi terjadi di Rusia dan 33 persen di kawasan Eropa. Indonesia juga menyumbang sekitar 13 persen dari angka konversi global selama periode yang sama.

Dari total lahan gambut yang ada di dunia, sekitar 80 persen digunakan untuk kegiatan pertanian. Di Asia, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian mencapai 89 persen, menunjukkan bahwa aktivitas ini memang menjadi bagian dari sistem produksi pangan dan komoditas global, bukan hanya fenomena di Indonesia.

Sejarah dan Distribusi Sawit di Lahan Gambut Indonesia

Di Indonesia, pengembangan kebun sawit di lahan gambut sudah berlangsung sejak era awal industri kelapa sawit. Beberapa perkebunan tertua yang kini berusia antara 75 hingga 100 tahun, terutama di pesisir timur Sumatera Utara dan Aceh, dibangun di atas lahan gambut. Artinya, sawit di lahan gambut bukan hanya fenomena modern, tetapi bagian dari sejarah panjang budidaya sawit di tanah air.

Menurut penelitian Gunarso dkk. (2012), sekitar 23 persen dari total perkebunan kelapa sawit di Indonesia berada di lahan gambut, sementara sisanya (77 persen) berada di lahan mineral. Namun, angka ini hanya merepresentasikan 8 persen dari total lahan gambut nasional. Jika dilihat berdasarkan wilayah, sawit di lahan gambut mencakup:

  • Sumatera: 29 persen sawit berada di lahan gambut
  • Kalimantan: 11 persen
  • Papua: hanya 2 persen

Sementara itu, pemanfaatan lahan untuk sawit secara nasional hanya sekitar 11 persen dari total luas daratan Indonesia (142,6 juta hektar). Sumatera mencatatkan sekitar 10 persen, Kalimantan sekitar 5 persen, dan Papua hanya 0,2 persen dari luas daratan masing-masing.

Regulasi dan Tata Kelola: Indonesia Sudah Memiliki Pedoman Jelas

Salah satu persepsi keliru yang kerap muncul adalah bahwa sawit di lahan gambut tidak memiliki tata kelola yang baik. Padahal, Indonesia telah memiliki regulasi yang cukup lengkap untuk mengatur hal ini. Dua regulasi penting yang menjadi acuan adalah:

  1. Peraturan Menteri Pertanian No. 14 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit
  2. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Ekosistem Gambut

Regulasi ini mengatur berbagai aspek teknis dan lingkungan terkait budidaya sawit di lahan gambut, seperti:

  • Kriteria lahan gambut yang boleh dimanfaatkan (misalnya, kedalaman kurang dari 3 meter)
  • Teknik pembukaan lahan dan pembangunan saluran drainase yang sesuai
  • Rencana pemeliharaan dan konservasi
  • Pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan budidaya

Dengan kata lain, tata kelola sawit di lahan gambut telah masuk dalam kerangka teknologi budidaya yang diatur secara sistematis. Praktik ini bukan dilakukan secara sembarangan, melainkan dengan pendekatan berbasis data, riset, dan peraturan.

Membingkai Ulang Narasi: Bukan Sekadar Isu, Tapi Fakta Lapangan

Isu mengenai sawit dan lahan gambut memang sensitif dan sering menimbulkan kontroversi, terutama dalam forum lingkungan internasional. Namun, penting untuk membingkai ulang narasi ini berdasarkan fakta dan data yang ada. Sawit di lahan gambut bukanlah tindakan destruktif yang terjadi tanpa kendali, melainkan bagian dari sejarah agrikultur Indonesia yang telah dijalankan puluhan tahun dengan praktik yang terus berkembang.

Sebagai negara dengan salah satu cadangan gambut terbesar dan sebagai produsen kelapa sawit terkemuka dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab dan peluang besar dalam membuktikan bahwa pengelolaan lahan gambut untuk sawit dapat dilakukan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.