
“Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Lirik lagu Kolam Susu dari Koes Plus yang begitu populer pada era 1970-an menggambarkan betapa suburnya tanah Indonesia. Sayangnya, gambaran indah itu kini terasa semakin jauh dari kenyataan, terutama bagi petani singkong yang tengah menghadapi krisis serius akibat permainan harga yang dilakukan oleh pengusaha tapioka.
Harga Singkong Anjlok, Petani Lampung Berunjuk Rasa
Di tengah kerja keras merawat tanaman dan menghadapi risiko cuaca yang tak menentu, petani singkong kini harus menghadapi ancaman lain: harga yang ditentukan secara sepihak oleh perusahaan. Dalam beberapa bulan terakhir, harga singkong turun drastis hingga di bawah Rp1.000 per kilogram, membuat para petani merugi.
Kondisi ini memicu aksi protes besar-besaran yang dilakukan oleh petani singkong dari berbagai kabupaten di Lampung. Pada 13 Januari 2025, mereka menggelar demonstrasi di Kantor Gubernur Provinsi Lampung, menuntut kebijakan yang berpihak kepada petani.
Sebenarnya, permasalahan ini sudah diupayakan penyelesaiannya sejak Desember 2024. Saat itu, Pemprov Lampung menggelar Rapat Koordinasi yang menghasilkan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara petani dan pengusaha tapioka. SKB tersebut menetapkan harga singkong sebesar Rp1.400/kg dengan refaksi (potongan) maksimal 15%.
Namun, kesepakatan itu justru diabaikan oleh perusahaan. Mereka tetap membeli singkong di bawah harga yang disepakati dan bahkan menerapkan refaksi hingga 35%.
Pemerintah Bertindak, Pengusaha Membangkang
Merespons keluhan petani, Pemprov Lampung mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2025 yang mempertegas aturan terkait harga dan kualitas ubi kayu. Surat edaran tersebut mencakup empat poin utama:
- Pembinaan dan monitoring harga serta kualitas ubi kayu di lapak dan perusahaan.
- Pelaksanaan tera ulang timbangan di seluruh lapak dan perusahaan untuk memastikan transparansi dalam pengukuran berat hasil panen petani.
- Pengembangan hilirisasi produk ubi kayu, seperti pengolahan menjadi Mocaf (Modified Cassava Flour) dan produk turunan lainnya guna meningkatkan nilai tambah.
- Pengenaan sanksi tegas bagi perusahaan yang melanggar kesepakatan harga dan refaksi.
Alih-alih mengikuti aturan, industri tapioka justru mengambil langkah yang lebih ekstrem: mereka menutup pabrik. Sejak 25 Januari 2025, banyak pabrik tapioka di Lampung menghentikan operasionalnya, dengan alasan harga produksi tepung tapioka global yang meningkat.
Penutupan ini tentu menimbulkan kecurigaan. Ada indikasi bahwa langkah ini sengaja dilakukan sebagai bentuk tekanan kepada petani agar mereka terpaksa menjual singkong dengan harga lebih rendah, sesuai keinginan pengusaha.
Permainan Harga dan Dampak bagi Petani
Aksi mogok oleh pengusaha ini telah mengkhianati SKB dan mengangkangi aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Yang lebih parah, hingga kini pemerintah belum mengambil tindakan tegas untuk menertibkan para pengusaha yang membangkang.
Padahal, pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat untuk menindak mereka, di antaranya:
- Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang mengatur harga yang adil dalam transaksi perdagangan.
- Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perindustrian, yang menekankan peran industri dalam mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa merugikan pihak lain.
- Pasal 9 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mewajibkan pelaku usaha menyediakan barang dengan harga yang wajar dan tidak merugikan pihak lain.
Berdasarkan regulasi tersebut, jelas bahwa pengusaha yang menolak mematuhi kesepakatan harga dapat dikenai sanksi. Namun, lemahnya langkah pemerintah dalam menindak mereka semakin memperlihatkan ketimpangan kekuatan antara petani dan pemilik modal.
Petani dalam Tekanan, Ekonomi Daerah Terancam
Lampung merupakan salah satu sentra utama produksi singkong di Indonesia, dengan luas lahan mencapai lebih dari 243 ribu hektare pada 2023. Beberapa kabupaten dengan produksi singkong terbesar antara lain:
- Lampung Tengah: 121.000 hektare
- Lampung Utara: 53.994 hektare
- Lampung Timur: 49.000 hektare
- Mesuji: luasan signifikan
Dengan area pertanian sebesar ini, hasil panen singkong seharusnya menjadi kekuatan ekonomi bagi Lampung. Namun, jika hasil panen tidak terserap akibat permainan harga oleh industri, dampaknya tidak hanya dirasakan petani, tetapi juga berimbas pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan stabilitas ekonomi masyarakat.
Selain itu, keran impor yang terbuka lebar semakin memperparah kondisi petani lokal. Produk impor yang lebih murah membanjiri pasar, membuat singkong lokal sulit bersaing dan akhirnya semakin tertekan oleh harga rendah.
Ketahanan Pangan Nasional dalam Bahaya
Ketimpangan antara petani dan pengusaha ini juga berimplikasi lebih luas pada ketahanan pangan nasional. Ketika petani tidak bisa menjual hasil panennya dengan harga yang layak, banyak di antara mereka yang beralih ke sektor lain atau bahkan berhenti bertani sama sekali.
Akibatnya, produksi singkong nasional bisa menurun drastis, mempengaruhi industri pengolahan pangan, dan mengganggu rantai pasokan makanan. Jika hal ini terus dibiarkan, Indonesia bisa menghadapi krisis pangan yang lebih besar di masa depan.
Saatnya Pemerintah Bertindak Tegas
Permasalahan ini bukan sekadar tentang harga singkong, tetapi tentang nasib ratusan ribu petani yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan masalah ini, di antaranya:
- Menindak tegas perusahaan yang melanggar kesepakatan melalui regulasi yang lebih ketat dan sanksi yang tegas.
- Mendorong hilirisasi industri singkong agar petani tidak hanya menjual bahan mentah, tetapi juga bisa mendapatkan nilai tambah dari produk olahan seperti Mocaf, bioetanol, dan produk turunan lainnya.
- Membatasi impor singkong dan produk turunannya, sehingga produk lokal memiliki daya saing yang lebih baik di pasar domestik.
- Menyediakan subsidi atau insentif bagi petani untuk mengurangi beban produksi mereka, sehingga tidak terlalu terdampak oleh fluktuasi harga.
Akan Terus Berlanjut atau Berakhir?
Jika pemerintah tidak segera bertindak, bukan tidak mungkin petani singkong akan semakin terhimpit dan akhirnya meninggalkan sektor ini. Pada akhirnya, kita mungkin akan semakin jauh dari lirik Kolam Susu, dan mendekati kenyataan pahit yang pernah diungkapkan Tan Malaka:
“Siapa yang kuat di bidang perindustrian, menjadi pihak yang akan menang.”
Lantas, apakah pemerintah akan berpihak kepada petani, atau membiarkan mereka kalah dalam permainan ini?