
Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas lautan yang jauh melebihi luas daratannya. Tak heran jika negeri ini disebut sebagai negara maritim, dengan kekayaan laut yang melimpah dan menjadi penopang utama ekonomi masyarakat pesisir. Laut bukan sekadar sumber penghidupan, tetapi juga identitas bangsa. Di balik gemuruh ombak dan hamparan biru yang mempesona, jutaan nelayan menggantungkan harapan. Mereka adalah garda terdepan dalam menjaga ketahanan pangan nasional melalui hasil laut yang mereka peroleh setiap hari. Namun, ironisnya, di tengah kekayaan yang seharusnya memberi kesejahteraan, nasib para nelayan justru kian memprihatinkan.
Setiap tanggal 6 April, Indonesia memperingati Hari Nelayan Nasional sebagai bentuk apresiasi terhadap dedikasi para nelayan. Peringatan ini bukan sekadar seremoni, melainkan pengingat akan pentingnya peran mereka dalam sistem pangan nasional serta desakan agar persoalan yang membelenggu mereka bisa diselesaikan secara nyata.
Jumlah Nelayan Naik, Namun Kesejahteraan Menurun
Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa jumlah nelayan di Indonesia terus bertambah. Hingga tahun 2022, tercatat ada 3,03 juta nelayan, dengan 2,40 juta di antaranya adalah nelayan laut dan sisanya, sekitar 632 ribu, merupakan nelayan perairan darat seperti sungai, rawa, dan danau. Meski angka ini meningkat, namun secara proporsi, nelayan hanya mewakili sekitar 1,10% dari total penduduk Indonesia—jumlah yang terbilang kecil jika dibandingkan dengan luasnya wilayah laut Indonesia.
Ironisnya, pertumbuhan jumlah nelayan ini tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan. Justru sebaliknya, mereka semakin terjepit oleh menurunnya pendapatan dan daya beli. Indikator yang paling mencolok adalah Nilai Tukar Nelayan (NTN), yang menunjukkan tren penurunan sepanjang 2023 dan mencapai titik terendah pada Desember di angka 102,51. Meski masih di atas angka satu, yang artinya pendapatan masih cukup untuk menutupi pengeluaran, namun tren penurunan ini menjadi alarm serius. Jika terus berlanjut, pendapatan nelayan tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Kemiskinan Membayangi Komunitas Pesisir
Realitas nelayan Indonesia sangat kontras dengan potensi kekayaan laut yang tersedia. Berdasarkan laporan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, sebanyak 2,7 juta nelayan menyumbang sekitar 25% dari angka kemiskinan nasional. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan hidup di bawah garis kemiskinan, dan sekitar 53% keluarga nelayan berada di wilayah pesisir dengan kondisi serupa.
Di lapangan, banyak nelayan bekerja tanpa perlindungan sosial, tanpa kepastian harga jual ikan, dan terjebak dalam sistem ekonomi yang tidak berpihak pada mereka. Keterbatasan akses terhadap permodalan, teknologi, dan informasi membuat nelayan sulit berkembang. Bahkan saat laut sedang “murah hati”, hasil tangkapan mereka tidak bisa memberikan jaminan penghidupan yang layak.
Kredit Macet: Beban Tambahan di Tengah Keterbatasan
Dalam menghadapi keterbatasan modal, sebagian nelayan mencoba mengandalkan akses perbankan. Namun upaya ini juga tidak selalu berbuah manis. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Mei 2024 menunjukkan bahwa sektor perikanan memiliki tingkat kredit macet atau non-performing loan (NPL) tertinggi, mencapai 5,99%. Angka ini sudah melewati ambang batas ideal NPL yang seharusnya di bawah 5%. Kondisi ini menegaskan bahwa sektor perikanan sangat rentan, baik dari sisi produksi maupun finansial.
Tingginya NPL ini menunjukkan bahwa banyak nelayan kesulitan memenuhi kewajiban pinjaman mereka, yang bisa disebabkan oleh fluktuasi hasil tangkapan, harga ikan yang tidak stabil, hingga dampak cuaca ekstrem. Ketika pendapatan tidak menentu, pembayaran cicilan menjadi beban tambahan yang mempersulit kehidupan mereka.
Saatnya Perubahan Nyata untuk Kesejahteraan Nelayan
Momentum Hari Nelayan Nasional seharusnya tidak hanya menjadi ajang seremonial, melainkan pemicu lahirnya kebijakan yang benar-benar berpihak kepada nelayan. Pemerintah perlu menghadirkan solusi struktural dan jangka panjang, mulai dari sistem subsidi yang efektif, stabilisasi harga hasil laut, hingga reformasi dalam sistem permodalan agar lebih inklusif dan adil.
Pembangunan infrastruktur pelabuhan perikanan, penyediaan alat tangkap ramah lingkungan, jaminan sosial dan kesehatan untuk nelayan, serta pelatihan peningkatan kapasitas juga sangat penting agar nelayan mampu menghadapi tantangan era globalisasi yang terus bergerak cepat. Di tengah gemuruh tantangan, nelayan Indonesia sejatinya masih menjadi tulang punggung maritim bangsa. Yang dibutuhkan mereka hanyalah keberpihakan nyata, bukan sekadar pujian dan peringatan setahun sekali.