Jakarta, 29 April 2025 – Peneliti dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha, menilai bahwa industri kelapa sawit memiliki peran krusial dalam memperkuat ekonomi nasional. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya kepastian hukum untuk menjaga keberlanjutan usaha serta kesejahteraan jutaan petani sawit di seluruh Indonesia.

“Ketidakpastian hukum yang terjadi pada sektor sawit mengganggu keberlanjutan industri ini secara keseluruhan,” ujar Eugenia dalam keterangan di Jakarta, Senin (28/4).

Sepanjang tahun 2024, industri kelapa sawit mencatatkan nilai ekspor mencapai 20 miliar dolar AS, menjadikannya komoditas non-migas dengan kontribusi devisa terbesar bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 21,60 juta ton, sementara Kementerian Pertanian mencatat bahwa 73,83 persen nilai ekspor pertanian berasal dari kelapa sawit.

Namun, di balik pencapaian tersebut, Eugenia mengingatkan masih banyak tantangan yang dihadapi pelaku usaha, khususnya terkait ketidakjelasan regulasi pemerintah. Menurutnya, ketidakpastian regulasi dapat memunculkan ekspektasi negatif yang membuat pelaku usaha enggan berinvestasi, menunda peremajaan tanaman, bahkan membiarkan lahan sawit menjadi tidak produktif.

Situasi ini dinilai sangat berbahaya terutama bagi petani kecil yang hanya memiliki lahan 1–5 hektare dan bergantung sepenuhnya pada hasil sawit untuk kelangsungan hidup mereka.

“Petani kecil tidak punya banyak pilihan seperti perusahaan besar. Jika industri sawit terguncang, mereka yang pertama kali akan terdampak,” ujar Eugenia.

Eugenia pun mendorong agar regulator membenahi tata kelola sektor sawit melalui penerapan regulasi yang konsisten, adil, dan berorientasi pada keberlanjutan untuk melindungi para petani kecil.

Lebih jauh, ia menyoroti posisi Indonesia di pasar global. Meski menjadi produsen sawit terbesar dunia dengan produksi 46,8 juta ton crude palm oil (CPO), Indonesia masih berstatus sebagai price taker, di mana harga sawit internasional dikendalikan oleh negara lain seperti Malaysia dan pasar Rotterdam.

“Kalau kita terus jadi price taker, maka sebesar apa pun produksi kita, nilainya tetap akan dikendalikan pihak lain. Ini saatnya Indonesia naik kelas, bukan hanya sebagai produsen, tetapi juga pemain utama dalam rantai nilai global sawit,” tegas Eugenia.

Seiring meningkatnya kebutuhan dunia terhadap produk sawit berkelanjutan, Eugenia menekankan pentingnya kesiapan Indonesia dalam memperkuat hilirisasi industri dan memperbaiki tata kelola agar bisa bersaing di pasar global.