
Kisruh antara petani singkong dan pabrik tapioka di Provinsi Lampung yang berlangsung sejak akhir 2024 masih belum menemukan titik terang. Setelah serangkaian aksi protes akibat anjloknya harga singkong, kini sejumlah pabrik tapioka justru menghentikan operasionalnya. Kondisi ini semakin memperumit situasi dan menuntut solusi menyeluruh yang tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga mampu menjawab permasalahan mendasar di sektor singkong.
Persoalan Hulu-Hilir yang Belum Tersentuh
Dewan Pimpinan Nasional – Masyarakat Singkong Indonesia (DPN MSI) menilai bahwa polemik ini disebabkan oleh berbagai faktor yang selama ini kurang mendapat perhatian. Mulai dari produktivitas lahan, dukungan sarana dan kebijakan, insentif bagi petani, hingga regulasi industri yang belum sepenuhnya berpihak pada produksi dalam negeri. Ketua Umum MSI, Arifin Lambaga, menegaskan bahwa singkong merupakan komoditas penting yang selama ini terpinggirkan, sehingga dibutuhkan pendekatan menyeluruh untuk mengatasi permasalahan yang ada.
Penurunan Produksi dan Produktivitas Singkong
Selama satu dekade terakhir, produksi singkong nasional mengalami tren penurunan, termasuk di Lampung yang merupakan produsen terbesar di Indonesia. Saat ini, produktivitas singkong nasional rata-rata hanya mencapai 22 ton per hektare, jauh di bawah beberapa negara lain yang telah mencapai lebih dari 30 ton per hektare. Guru Besar Universitas Jember, Prof. Dr. Ir. Achmad Subagio, menekankan bahwa solusi harus mencakup seluruh aspek, mulai dari budidaya hingga pengolahan dan konsumsi. Salah satu langkah penting yang perlu diperhatikan adalah peningkatan produktivitas panen dan efisiensi biaya produksi.
Dukungan Kebijakan untuk Petani dan Industri Singkong
Untuk meningkatkan daya saing singkong lokal, Prof. Achmad Subagio menyarankan adanya kemudahan dalam akses lahan, pupuk, sarana produksi, serta permodalan bagi petani. Dengan demikian, biaya produksi dapat ditekan, produktivitas meningkat, dan petani memiliki daya tawar lebih tinggi. Sekjen MSI, Heri Soba, juga menegaskan bahwa industri tapioka seharusnya lebih mengutamakan penggunaan singkong lokal ketimbang impor. Namun, kebijakan ini harus diikuti dengan langkah konkret untuk meningkatkan efisiensi produksi agar singkong lokal dapat bersaing dengan produk impor.
Potensi Besar Singkong di Lampung yang Harus Dikelola dengan Baik
Lampung menyumbang sekitar 40% produksi singkong nasional, dengan total panen mencapai 6,7 juta ton umbi segar pada tahun 2022. Dari jumlah tersebut, sekitar 90% diserap oleh industri tapioka yang memberikan kontribusi devisa sekitar Rp 10 triliun. Potensi besar ini sangat disayangkan jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, MSI menegaskan pentingnya menjadikan singkong sebagai komoditas strategis sejajar dengan padi, jagung, dan kedelai.
Polemik antara petani singkong dan pabrik tapioka di Lampung menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih adil dan komprehensif dalam mengelola sektor singkong. Dengan dukungan regulasi yang berpihak pada petani, peningkatan produktivitas, serta efisiensi biaya produksi, singkong dapat menjadi komoditas unggulan yang berdaya saing tinggi. Pemerintah, industri, dan petani perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa potensi besar singkong tidak hanya menjadi sumber konflik, tetapi juga menjadi pilar penting dalam ketahanan pangan nasional.